Kamis, 15 November 2012

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dengan Program Penataan Lingkungan dan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK)

Apa yang “beda” dan “berbeda” antara Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dengan Program Penataan Lingkungan dan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK)? Apakah PLPBK berdiri sendiri? Di mana korelasi antara PNPM Perkotaan dan PLPBK? Pertanyaan ini sangat mengusik pelaku di lapangan, mulai dari KMP, KMW, Koorkot sampai fasilitator kelurahan (Faskel).

Coba kita merefleksi sejenak intervensi siklus PNPM Mandiri Perkotaan yang memiliki beberapa tahapan mulai dari tidak berdaya, berdaya, mandiri, dan madani. Di mana posisi PLPBK dalam PNPM Perkotaan? Tentunya jawabannya ada di intervensi terakhir jika BKM tersebut telah mandiri atau madani karena BKM telah naik tingkat menuju fase yang paling akhir dari siklus program. 

Apa yang “beda” antara PNPM Perkotaan dan PLPBK? Secara siklus kegiatan dan output yang dihasilkan memiliki “kemiripan”. PNPM Perkotaan outputnya PJM Pronangkis yang terbagi dalam rencana tahunan (Renta) 3 tahunan, sedangkan output PLPBK adalah Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP)—secara makro; dan Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP) yang berisi indikasi kegiatan selama minimal 5 tahun, serta penyepakatan aturan bersama di masyarakat.

Seyogianya mulai dari Pusat (KMP), Provinsi (KMW), Kabupaten (Korkot sampai faskel) melakukan kajian mendalam terkait dampingan (BKM) yang mendapatkan lokasi-lokasi PLPBK. Perlunya penguatan dan pemahaman baru baik dari Korkot, Askot, Senior Fasilitator dan Fasilitator Kelurahan baik melalui Komunitas Belajar Internal Konsultan (KBIK) dan diskusi-diskusi kecil guna mendapatkan kesamaan cara pandang dalam pendampingan, terutama lokasi yang mendapatkan dua intervensi program. Sehingga, BKM yang mendapatkan lokasi PLPBK dan PNPM Perkotaan perlu melakukan sinkronisasi, baik rencana kegiatan siklus agar masyarakat maupun pendamping lapang tidak merasa menjadi “korban” dualisme kegiatan.

Untuk itulah perlu disusun dokumen yang cukup representatif dan memiliki dimensi perencanaan yang komprehensif dan tidak lepas dari dokumen perencanaan kota/kabupaten (karena memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat) yaitu dokumen PJM Pronangkis Plus, ter-upgrade RPLP/RTPLP.

Sebagai ilustrasi, apabila BKM memasuki siklus tahun ke–4 maka tentunya BKM tersebut akan melakukan sosialisasi dari tingkat basis sampai lokakarya desa, pelaksanaan Refleksi Kemiskinan (basis sampai lokakarya desa), Pemetaan Swadaya mulai dari Peta Tematik KK Miskin (PS1), Nama KK Miskin (PS2), Kajian Ekonomi (PS3), Kajian Pendidikan (PS4), Kajian Kesehatan (PS5), dan Kajian Kelembagaan Kepemimpinan (basis sampai lokakarya desa), sampai tersusunnya PJM Pronangkis baru.

Demikian juga siklus PLPBK dimulai dengan sosialisasi (basis sampai lokakarya desa), Refleksi Kemiskinan (basis sampai lokakarya desa), Pemetaan Swadaya Plus (PS1 sampai PS 6 Plus Kajian Penataan Ruang), penggalian dan penentuan visi misi, penyusunan dokumen RPLP, yang ter-break down dalam RTPLP, serta penyepakatan Aturan Bersama. Hal yang membedakan dalam siklus kegiatan PNPM dan PLPBK adalah dalam pelaksanaan Pemetaan Swadaya dan kreativitas/inovasi dalam penggalian visi misi serta pembuatan Aturan Bersama (lokakarya desa). 

Ujung tombak dalam menentukan keberhasilan penyusunan dokumen PJM Pronangkis berbasis Ruang adalah dalam pelaksanaan PS dimana masyarakat (relawan, tim PS, dan kelompok peduli) telah dibekali ilmu dan pemahaman dalam memetakan wilayahnya mulai dari PS 1 (Peta KK Miskin) yang didapat dari hasil penyepakatan RK tingkat desa untuk dilakukan identifikasi lapang serta croscek di masing-masing basis, sehingga mendapatkan Peta Tematik KK Miskin, yang tentunya akan muncul nama-nama KK Miskin (PS2). Setelah itu melakukan identifikasi sarana prasarana dasar mulai dari jaringan jalan, listrik, telepon, saluran drainase (primer, sekunder, tersier sampai kuarter), sampah dan distribusinya, sarana perkantoran, sarana peribadatan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, perdagangan jasa (ritel, toko, warung/kios dan lain-lain), dan ruang terbuka hijau (makam, lapangan olahraga, taman) serta kawasan budidaya (tambak, tegalan, dan sawah).

Dari hasil identifikasi lapang tersebut akan dijadikan tema dalam diskusi kecil mulai dari tingkat basis sampai muncul kajian (PS3, PS4, PS5, PS6 dan Kajian Ruang) guna mendapatkan hipotesis awal tentang kedudukan desa dalam konstelasi keruangannya dalam menentukan skenario perencanaan makro desa baik jangka pendek, dan jangka menengah yang disesuaikan dengan skenario perencanaan skala kota/kabupaten. 

Tentunya perbedaannya antara lokasi PNPM Perkotaan dan PLPBK adalah, dalam melakukan siklus kegiatan lokasi PNPM Perkotaan hanya didampingi oleh fasilitator kelurahan dan kepedulian dari relawan setempat, sedangkan PLPBK mampu merekrut tenaga profesional yang secara kapasitas dan kapabilitas memiliki “background” dalam melakukan analisis pola dan pemanfaatan ruang dan perubahan sosial kultural masyarakat serta skenario wilayah baik skala desa, kecamatan, dan kabupaten.

0 komentar:

Posting Komentar